Pengesahan KUHP Baru Jadi Tonggak Sejarah Pembaruan Hukum Pidana Indonesia

Foto: Untung Sutomo/InfoPublik - MatatimorNews

Serang, MatatimorNews (Untung S) – Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 6 Desember 2022 diyakini sebagai tonggak sejarah pembaruan hukum pidana di Indonesia, setelah terbelenggu selama 104 tahun menggunakan KUHP produk kolonial Belanda.

Hal itu disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Dr. Agus Prihartono, S.H., M.H, saat memberikan sambutannya pada webinar Sosialiasi KUHP di Gedung Fakultas Hukum Untirta, Serang, Banten pada Selasa (13/12/2022) yang digelar Direktorat Informasi Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Ditjen IKP Kominfo).

Dr. Agus Prihartono mengungkapkan, memang KUHP yang baru saja disahkan itu ibarat bayi baru lahir, namun sudah banyak menimbulkan pro dan kontra.

Hal itu menurutnya karena banyak yang tidak mengetahui isinya secara jelas, “Yang terpenting adalah KUHP baru itu adalah produk anak bangsa, yang disusun oleh pakar-pakar hukum yang disesuaikan dengan kultur bangsa, berbeda dengan KUHP warisan kolonial,” kata Dr. Agus Prihartono.

Namun menurut Dr. Agus Prihartono, namanya produk manusia pasti ada kekurangan, karena itulah membutuhkan masukan, saran juga penjelasan agar menjadi sebuah produk hukum pidana yang sempurna.

“Nah kegiatan seperti ini penting agar bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak mengerti, termasuk jika akan menyampaikan kritik bisa menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan faktanya, karena itu cenderung tidak membangun,” ujar Dr. Agus Prihartono.

Ia menuturkan, fase yang dijalani dalam proses penyusunan hingga pengesahan KUHP baru itu tidaklah mudah, melewati banyak rintangan. Mulai dari beberapa kali pergantian kepemimpinan pemerintah hingga proses pembahasannya ditingkat pakar hukum dan ahli.

“Masa-masa itu sudah terlewati, nah tinggal bagaimana kita menyempurnakan itu, karena sudah disahkan maka bagi yang masih mempertanyakan bisa menempuh jalur hukum, dan semua produk hukum di masa mendatang tentu bisa dilakukan revisi dan pembaruan sesuai kebutuan, begitupula KUHP ini,” tuturnya.

Sementara itu Direktur Informasi Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Ditjen IKP Kominfo, Bambang Gunawan, dalam dalam kesempatan yang sama mengatakan selama 104 tahun bangsa Indonesia menggunakan KUHP produk kolonial yang tidak sesuai jati diri bangsa, sehingga sepatutnya pengesahan KUHP baru produk bangsa sendiri menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. 

“Karena selama 104 tahun kita menggunakan produk hukum pidana yang tidak sesuai dengan adat istiadat, kultur, dan nilai-nilai kebangsaan Indonesia,” katanya.

Produk bangsa sendiri itu, menurut Bambang penyusunannya tidak dilakukan buru-buru, selain melewati fase yang tidak mudah, juga sudah melewati proses transparan, teliti, partisipatif juga demokratis. 

Sehingga kebanggaan itu sepatutnya hadir, meski Bambang mengakui seperti disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly bahwa KUHP baru itu memang belum bisa mengakomodir seluruh usulan, namun apa yang ada saat ini sudah sangat mewakili apa yang dibutuhkan bagi penegakan keadilan di Indonesia sesuai perkembangan zaman masa kini.

“Memang masih ada pro dan kontra, hal itu memang karena banyak yang belum memahami dan membaca isi KUHP baru secara menyeluruh, karena itulah Kominfo sesuai arahan Presiden Joko Widodo, secara masif terus melakukan sosialisasi sejak masih Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP,” jelas Bambang.

Webinar Sosialisasi KUHP itu dilaksanakan secara hibrida (luring dan daring) dengan menghadirkan sekitar 300 peserta, kombinasi daring dan luring.

Peserta merupakan perwakilan dari Aparat Penegak Hukum, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, pers/media, organisasi profesi hukum, kelompok pemuka agama, organisasi masyarakat, mahasiswa dan organisasi mahasiswa di Serang, Banten.

Sementara narasumber yang hadir di antaranya ada Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., MH., Ph.D, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H, serta Akademisi Fakultas Hukum Untirta, Dr. Rena Yulia, S.H., M.H.

Komentar
judul gambar
judul gambar